Namun, perkembangannya tidak sejalan dengan pertumbuhan populasi. Sebanyak 82 persen dari satu miliar orang yang melakukan BABS ada di sepuluh negara, yakni India, Indonesia, Pakistan, Nigeria, Ethiopia, Sudan, Nigeria, Nepal, China, dan Mozambik.
"Memang jika dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan, kondisi di pedesaan lebih parah. Di pedesaan di sekitar NTT masih cukup parah, lalu di kota besar seperti di Jakarta. Kita lihat saja di bantaran sungai Cilwung dan sekitar Jakarta Utara juga masih parah," kata Lilik Trimaya, Program WASH UNICEF Indonesia.
Terlebih lagi kata Lilik masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap BABS merupakan budaya Indonesia untuk melestarikan lingkungan. Bahkan sebagian masyarakat pun masih melihat sanitasi itu kurang penting.
"Kami menemukan fakta cukup mencengangkan karena sebagian masyarakat Indonesia beranggapan BABS untuk melestarikan lingkungan. Itu juga diperparah dengan ketersedian air di beberapa tempat di Nusantara yang sulit," ujarnya.
Akibat dari BABS ini, menurut WHO, yakni sebanyak 88 persen angka kematian anak akibat diare karena kesulitan mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi. Selain itu, memperbesar resiko terganggunya pertumbuhan fisik anak sehingga tidak optimal pada usianya.
"Kampanye ini tidak bisa selesai dengan hanya membuat toilet. Karena butuh keinginan dan kesadaran dari masyarakat. Di beberapa tempat kami bangun toilet, belum tentu mereka mau memakainya. Maka dari itu, kami ingin memulai dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat, “ jelasnya.
Sumber: Antara
EmoticonEmoticon